“KI SEMAR mengexplore komedi horor lewat DUKUN MAGANG” Horor Komedi tentang Akal Sehat yang Bertemu Ilmu Warisan

Yofamedia.com, Jakarta - Diproduksi oleh Dens Vision Multimedia, “DUKUN MAGANG” dengan Denny Januar sebagai Produser Eksekutif dan Ki Semar RBS sebagai ide cerita/pencetus menghadirkan perpaduan horor-komedi khas Indonesia dengan denyut coming-of-age yang segar.

Alkisah Raka (Jefan Nathanio), mahasiswa skeptis yang target hidupnya sederhana: lulus skripsi. Ia terpaksa pulang ke Desa Kalimati bersama Sekar (Hana Saraswati), mahasiswi cerdas pewaris tradisi keluarganya.

Satu kesalahan membuka pintu petaka: Kuntilanak Hitam yang telah 12 tahun dikurung terlepas. Untuk menebus blunder itu, Raka “magang” pada dukun legendaris Mbah Djambrong (Adi Sudirja) dan harus belajar kilat dari topo patigeni, meracik kurungan ayam belang telon, hingga berburu tali pocong perawan sebuah perjalanan yang kocak, mencekam, sekaligus menguji nyali.

Di tangan “Dukun Magang”, benturan logika modern dan warisan ilmu tidak sekadar jadi bumbu, tetapi menjadi nyawa cerita. Ki Semar RBS menegaskan bahwa kegelisahan itulah yang menjadi titik awal lahirnya ide film ini.

“Ide Dukun Magang berangkat dari kegelisahan saya melihat banyak anak muda memutus hubungan dengan tradisi hanya karena merasa sudah modern. Lewat benturan Raka dan Mbah Djambrong, saya ingin menunjukkan bahwa akal sehat dan ilmu warisan sebenarnya bisa saling berdialog, bukan saling meniadakan,” ujar Ki Semar.

Sang sutradara menambahkan, “Gagasan itu lahir dari pertentangan antara logika modern dan kepercayaan tradisional yang masih hidup di masyarakat kita. Tokoh Raka mewakili generasi muda yang rasional dan skeptis, sementara Mbah Djambrong melambangkan ilmu warisan yang sarat nilai dan misteri.”

Secara visual, benturan itu diterjemahkan melalui kontras dunia kampus yang terang, bersih, dan modern berlawanan dengan Desa Kalimati yang remang, berasap dupa, dan berpalet tanah. “Komposisi gambar juga sengaja dibuat bertabrakan simetris di kampus, tapi berantakan dan organik di dunia dukun untuk menunjukkan benturan dua cara berpikir itu,” lanjutnya.

Di tengah ketegangan, hadir duo sahabat Boiman dan Fajar yang memantik tawa justru pada detik-detik paling tegang. Soal meramu komedi di jantung horor, sutradara menekankan ritme dramatik yang tetap serius dengan reaksi manusiawi sebagai sumber kelucuan.

“Kuncinya adalah niat dramatiknya tetap serius, tapi karakternya yang gagal bersikap serius. Horornya harus tetap mencekam, sementara komedinya muncul dari reaksi manusiawi para tokoh, bukan dari lelucon verbal semata,” ujarnya.

“Saya menggunakan ritme editing dan blocking aktor sebagai alat komedi misalnya adegan ayam jago berkokok setiap kali Mbah Djambrong ingin bicara penting, atau timing takutnya Boiman yang selalu salah momen. Ketegangan dibangun dulu, lalu dilepas lewat humor… setelah mereka tertawa, ancaman horor berikutnya terasa lebih kuat.”

Jefan Nathanio, sebagai Raka, mengaku proses “dipaksa percaya” adalah tantangan tersendiri. “Sejujurnya aku tipikal orang yang tidak percaya hal yang nggak realistis, I’m a very logical person,” katanya.

“Tapi ketika memerankan dari POV Raka, aku harus cari dari pandangan yang berbeda. Contohnya, aku tanya teman-teman atau orang yang pernah mengalami hal yang sama. Itu jadi referensi, sekaligus belajar bagaimana mereka menanggapinya karena pasti reaksi orang berbeda-beda,” tambahnya.

Salah satu momen yang membuka perspektifnya datang dari sebuah ritual yang tampak nyeleneh namun tetap ‘masuk akal’ dalam logika film. “Oh ada! Waktu ritual aku masuk sangkar ayam. Jujur, bingung banget konsepnya seperti apa. Tapi karena ini horor komedi, semuanya masih make sense aja. Mungkin yang bisa klarifikasi opung Adi Sudirja, ya,” ujarnya sambil tertawa.

Film ini menonjolkan atmosfer pedesaan yang kuat, ritme penceritaan yang gesit, serta set-piece mistis yang sangat Indonesia. Musik memacu adrenalin, sementara detail budaya lokal membuat horornya dekat sekaligus menghibur.

Deretan penampil Mo Sidik, Mang Osa, Norma Cinta, Salsabila, hingga special appearance Dodit Mulyanto ikut meramaikan layar, memperkaya lapisan komedi tanpa mengurangi rasa seramnya.

Sebagai pemungkas, “Dukun Magang” menyelipkan kejutan post-credit yang membuka jendela menuju misteri baru tanpa mengorbankan penutupan cerita utama. “Post-credit dalam ‘Dukun Magang’ berfungsi sebagai penyambung antara resolusi dan misteri baru—semacam jendela kecil yang mengisyaratkan bahwa dunia gaib di film ini lebih luas dari yang Raka pahami. Cerita utama tetap ditutup dengan tuntas,” terang sang sutradara.

“Supaya terasa earned, petunjuknya sudah ditanam sejak awal lewat simbol di tubuh Raka dan mantra yang belum sepenuhnya ia pahami, jadi saat kejutan muncul, penonton merasa ‘oh, ini sudah ditanam dari tadi’, bukan sekadar tempelan efek kejutan,” tutupnya. [Lia]

0/Comments = 0 Text / Comments not = 0 Text

Lebih baru Lebih lama
YofaMedia - Your Favourite Media
Ads2