Dalam jumpa pers di kawasan Kuningan, Senin, 18 November, Joko Anwar sebagai produser, penulis, sekaligus editor. menyebut film ini sebagai “cara baru membaca luka-luka yang diwariskan keluarga, jauh lebih kelam dari sekadar kisah anak durhaka.”
Alih-alih menempatkan Malin sebagai simbol pembangkangan, film ini menggugat kembali asal retaknya hubungan anak dan ibu. Pusat cerita berada pada sosok Alif (Rio Dewanto), seniman micro painting yang kehilangan sebagian ingatan akibat kecelakaan. Hidupnya jungkir balik ketika seorang perempuan muncul dan mengaku sebagai ibunya ssbagai sosok yang hilang dari memorinya selama 18 tahun. Sejak itu, fragmen traumatis yang tersembunyi dalam lukisan-lukisan mikronya menjelma menjadi petunjuk menuju masa lalu yang ia kubur tanpa sadar.
Menurut Joko, hubungan orangtua dan anak adalah cermin paling jujur dari kondisi bangsa. “Banyak luka sosial lahir dari trauma yang diwariskan turun-temurun,” ujarnya. Legenda Malin Kundang menjadi pintu masuk untuk membedah itu semua, keras, gelap, dan tanpa kompromi.
Sutradara Kevin Rahardjo (Harjo) menuturkan bahwa struktur teka-teki film dirancang lebih dulu sebelum naskah ditulis, sehingga seluruh proses diskusi selama dua bulan berlangsung intens demi menentukan mana informasi yang disembunyikan, mana yang dipecahkan di puncak cerita. Alurnya bergerak seperti labirin: penonton digiring masuk ke kepala Alif, tersesat bersama ingatannya.
Sementara sutradara Rafki Hidayat menambahkan bahwa film ini bukan sekadar memetakan trauma keluarga, tetapi juga menyorot ketimpangan kelas sosial yang membentuk karakter. Kota padat, lorong-lorong gelap, hingga kontras antara rumah nyaman Alif dan masa lalu yang ia tinggalkan, semuanya dirancang sebagai “petunjuk sosial” yang perlahan mengungkap jati diri sang tokoh.
“Kalau selama ini Malin hanya dibaca sebagai anak durhaka, kami bertanya: apa yang membuat seorang anak tampak durhaka? Dan apa peran ibunya dalam luka itu?” ujar Rafki.
Bagi Rio Dewanto, peran Alif adalah tantangan yang melampaui karakter biasa. Profesi pelukis mikro bukan sekadar estetika, tetapi metafora jiwa yang menyimpan detail-detail terpendam—hal-hal terlalu kecil untuk diucapkan, namun terlalu besar untuk dilupakan.
Produser eksekutif Ical menyebut kerja sama lintas generasi dengan dua sutradara muda ini sebagai “arus baru” dalam industri. Rafki dan Harjo dinilai bukan hanya bermain gaya visual, tetapi menembus inti emosional cerita sehingga suasana kerja mengalir sebagai dialog kreatif yang terus memercikkan ide.
Film ini turut diperkuat oleh Faradina Mufti, Vonny Anggraini, Jordan Omar, Sulthan Hamonangan, Gambit Saifullah, Nova Eliza, hingga Tony Merle. Faradina menyebut proses penyutradaraan sangat terstruktur. “Bangunan karakter sudah 60 persen disiapkan. Saya hanya perlu melengkapi sisanya,” ujarnya.
Dengan menggabungkan thriller psikologis, misteri keluarga, dan potret sosial yang getir, Legenda Kelam Malin Kundang menjanjikan pengalaman sinematik yang bukan hanya mencekam tetapi juga emosional. Film ini menyodorkan pertanyaan-pertanyaan yang mengendap: apakah sebuah keluarga bisa benar-benar pulih dari trauma yang diwariskan? Atau semua orang pada akhirnya menjadi Malin Kundang dalam versinya masing-masing? [Red]



Posting Komentar