Yofamedia.com, Jakarta - Polemik isu aktual menjadi komoditas pemberitaan media, sehingga apresiasi publik sangat tergantung dari framing dan priming yang dimunculkan. Kondisi ini menjadi tantangan bagi humas Pemerintah untuk mengedukasi masyarakat agar tidak mudah terprovokasi narasi kelompok kepentingan.
Deputi-VII BIN/Juru Bicara Kepala BIN, Wawan H.Purwanto pada webinar Forum Komunikasi BAKOHUMAS yang diselenggarakan BIN (22/9/2020) mengatakan peran humas pemerintah sebagai kanal komunikasi publik agar mampu meredam polemik isu aktual. Jika sinergitas humas K/L negara optimal maka tidak akan ada unjuk rasa yang mengarah kepada pucuk pimpinan di berbagai strata.
Bad news is good news selalu mewarnai pemberitaan media, sehingga opini masyarakat terkooptasi dengan framing yang dipublikasikan. Polarisasi masyarakat dalam menyikapi polemik isu aktual, terutama masyarakat yang kontra dengan kebijakan pemerintah umumnya tidak didasari data dan fakta. Kondisi ini dimanfaatkan oleh kelompok kepentingan untuk mendiskreditkan pemerintah. Disisi lain kelompok kepentingan menjadikan polemik isu aktual untuk meningkatkan popularitasnya, ujar Wawan.
"Humas harus wise dan dekat dengan publik agar pesan dapat diterima dengan baik," ujarnya. Kita mengenal teori jarum suntik, mengisi isi kepala dengan informasi secara perlahan dan konsiten agar mindset positif dapat terbentuk. Selanjutnya sikap akomodatif, empati-simpati-partisipasi para Humas akan mampu menumbuhkan prasangka positif terhadap berbagai kebijakan pemerintah.
Wawan menambahkan "trust building tidak bisa terjadi dengan sendirinya, dan ini merupakan modalitas bangsa untuk melanjutkan pembangunan". Selama ini, ada sebagian kecil masyarakat yang belum mengapresiasi hasil pembangunan pemerintah. Padahal konsentrasi mutlak diperlukan pemerintah untuk melanjutkan pembangunan diberbagai bidang guna mengantarkan bangsa Indonesia menuju kemajuan dan kesejahteraan, secara merata.
"Selama ini isu aktual yang mengemuka dan menjadi perhatian publik antara lain PSBB DKI Jakarta, Pilkada di Tengah Pandemi, Ancaman Resesi di Kuartal III Tahun 2020 dan Penceramah Bersertifikat oleh Kemenag," Kata Tenaga Ahli Utama Kedeputian Informasi dan Komunikasi Politik Donny Gahral Adian, Selasa (22/9/2020), di Jakarta.
Donny mencontohkan isu PSBB DKI Jakarta yang seolah-oleh terjadi ketidakserasian antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah DKI. Padahal saat ini kita masih dalam rezim PSBB sehingga apa yang dilakukan Pemerintah DKI sebagai bentuk implementasi kebijakan besar Pemerintah Indonesia. Demikian halnya isu ancaman resesi di kuartal III Tahun 2020, banyak disalahpahami oleh masyarakat sebagai bentuk kehancuran ekonomi Indonesia. Padahal negara lain juga mengalami hal serupa akibat pandemi Covid-19. Oleh karena itu Humas Pemerintah harus dapat memberikan literasi dan edukasi kepada masyarakat agar tidak mucul kecemasan dan polemik yang berkelanjutan.
Pilkada serentak sebagai sebuah isu bahwa Pemerintah mementingkan politik daripada kesehatan dengan tidak menunda pelaksanaannya. Ini harus dijawab sebijak mungkin dan tidak ada kaitannya dengan keikutsertaan anak dan menantu Presiden Jokowi dalam Pilkada 2020. Masyarakat perlu memahami bahwa Pilkada dilakukan dengan pengawasan disiplin protokol kesehatan yang ketat. Humas perlu mencium arah dari pertanyaan dan framing media. Sampaikan informasi dengan santun sebagai Goverment Public Relation yang profesional, jangan terlarut dengan emosi dan hindari debat kusir dengan masyarakat yang tidak berdasarkan fakta dan data, ujar Donny.
Setidaknya ada tiga aksioma kehumasan pemerintah, pertama semua yang kita sampaikan itu niscaya akan di-spin (dipelintir) oleh media. Kita harus berhati-hati, dengan asumsi bahwa di media isu akan di-spin dan berlaku adagium bad news is good news. Kedua, kekeliruan sebagai penyampai informasi memiliki potensi melakukan slip of tongue. Jadi, kehati-hatian harus jadi pedoman karena ketika melakukan kekeliruan maka yang disalahkan bukan kita pribadi melainkan institusi kita. Ketiga, kita berada di alam demokrasi, pemerintah dan siapapun yang menjadi Presiden pasti memiliki oposisi atau mendapat tantangan atau terdapat antitesa/oposisi. Suara oposisi ini bisa jadi suaranya tidak terlalu signifikan tapi bisa menggalang opini. Kita sebagai humas harus perhatikan substansi, jika kita tidak menguasai substansi maka lebih baik jangan disampaikan, lebih baik orang lain yang menguasai substansi, baik dari pihak pemerintah maupun dari luar pemerintah. Lalu terkait cara penyampaian, kadang substansi benar, yang menyampaikan tepat tapi cara penyampaian kita sambal tertawa dan gaya bahasa yang mengecilkan. Jadi kalau menyampaikan maka kita harus sesuaikan dengan mode yang sesuai masalah, terang Donny.
Dalam sambutannya Dirjen IKP/Ketum Bakohumas Widodo Muktiyo mengatakan bahwa humas pemerintah harus memiliki follower yang banyak, sehingga pesan yang disampaikan tidak hanya sekedar send tetapi mampu delivered informasi yang akurat. Humas merupakan representasi yang menampilkan wajah dari sebuah organisasi atau lembaga. "Dengan berbagai tantangan yang ada, humas dituntut mampu membangun citra yang baik di mata publik. Bagaimana wajah itu ingin ditampilkan? Maka profesionalisme dan strategi kehumasan yang cemerlang menjadi kunci di balik wajah baik sebuah lembaga, bahkan Negara," ujar Widodo.
"Media sosial sering digunakan beberapa pihak untuk mengecoh kegiatan kita (pemerintah). Kita sebagai humas berhak untuk melakukan counter. Kita sebagai humas sebaiknya minimal memiliki tiga akun medsos, yang masing-masing memiliki 500 follower. Hal itu gunanya untuk menghijaukan area area virtual," tambah Widodo.
Widodo menambahkan "Salah satu yang menjadi direktif Presiden adalah sinergitas. Berbicara mengenai sinergitas sebagai kunci dari efektivitas kerja bersama seluruh elemen pemerintah, pedomannya tentu masih sama sejak 2015, yakni Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Komunikasi Publik." [Red]
Posting Komentar