Gubernur Lemhanas: Keterlibatan Prajurit TNI dalam Kontraterorisme Harus Sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan

Yofamedia.com, Jakarta - Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Andalas bekerjasama dengan MARAPI Consulting & Advisory menyelenggarakan Webinar Nasional bertema “Pelibatan TNI Dalam Kontra Terorisme”. 

Adapun Kegiatan diskusi tersebut berlangsung pada Rabu, 11 November 2020 yang di mulai pukul 14.00 WIB, secara daring melalui aplikasi zoom meeting, dan disebarkan melalui kanal YouTube HI Unand.

Hadir sebagai Keynote Speaker Gubernur Lemhannas RI, Letnan Jenderal TNI (Purn) Agus Widjojo, lalu narasumber yaitu: Kepala BNPT 2011-2014 (Inspektur Jenderal (Purn) Drs. Ansyaad Mbai), Pengkaji Strategis dan Keamanan (Universitas Andalas, Zulkifli Harza,  Ph.D) dan Peneliti Setara Institute (Ikhsan Yosarie, S.IP.).

Mengawali pembicaraan, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo menjelaskan bawah ketentuan konstitusional pengerahan TNI adalah harus berdasarkan perintah presiden sesusai peraturan perundang-undangan yakni hanya berdasarkan perintah presiden melalui pernyataan publik yang terbuka.

"Hal itu untuk kontrol publik dan DPR dan tidak ada yang dilaksanakan secara otomatis. Panglima TNI hanya dapat menentukan bagaimana cara melaksanakan tugas dan samasekali tidak bisa membuat keputusan politik tentang apa yang harus diperbuat TNI sebagai awal penugasan," ungkapnya. 

Lebih lanjut Agus mengatakan, bahwa masih banyak kalangan terbelenggu dalam tatanan dwifungsi ABRI dan berharap akan pelibatan TNI dalam kontraterorisme tanpa memahami dasar-dasar peraturan perundangan-undangan.

"Ditambah dengan masih adanya kalangan TNI yang menganggap doktrin TNI unik dengan perannya sebagai penjaga bangsa sehingga tatanan dwifungsi ABRI masih dianggap berlaku," jelasnya. 

Menurutnya, Ini disebabkan juga kontrol demokratik dari otoritas sipil yang masih lemah untuk menegakkan tatanan dari kemampuan berdasarkan kaidah demokrasi.

Agus menambahkan, bahwa upaya kontraterorisme menggunakan kerangka penegakan hukum (criminal justice system) sudah berjalan cukup efektif sehingga jika terorisme terjadi di dalam negeri maka akan menjadi tanggungjawab fungsi penegakan hukum seperti Polri dengan perbantuan TNI jika diperlukan.

"Hal ini berdasarkan keputusan politik atau sebagai akibat pernyataan keadaan darurat. Sedangkan jika terorisme terjadi di luar jurisdiksi sistem hukum nasional maka menjadi tugas dan kewenangan TNI," tegasnya. 

Agus juga menyatakan penerbitan perpres untuk TNI dalam peran menangani terorisme akan rawan tumpang tindih peran dengan berbagai lembaga lain seperti BNPT, Polri, Densus 88 dan lainnya. 

Oleh karena itu Agus menyarankan agar rancangan perpres disempurnakan terlebih dahulu dan mengemukakan mendesaknya kebutuhan menerbitkan UU perbantuan TNI kepada otoritas sipil di masa damai yang dapat mewadahi peran perbantuan TNI kepada pemerintah sipil.

Dalam kesempatan yang sama, Analis strategi dan keamanan Universitas Andalas Zulkifli Harza, PhD memaparkan adanya kompleksitas aturan soal perbantuan TNI dalam kontraterorisme dikarenakan UU34/2004 tentang TNI menganut azas hukum humaniter sedangkan UU5/2018 tentang tindak pidana terorisme menganut azas hukum pidana.

Zulkifli pun menjelaskan, bahwa meskipun pendekatan kontraterorisme pada umumnya menganut azas penegakan hukum, termasuk di negara-negara lain, perbantuan militer tetap diperlukan dalam situasi di mana penegakan hukum tidak bisa efektif.

"Namun perbantuan tersebut harus dilakukan melalui kerangka aturan yang jelas sehingga tidak akan terjadi tumpang tindih peran," tandasnya.

Dalam hal ini Zulkifli juga menjelaskan bahwa pelibatan militer dalam kontraterorisme di Indonesia rawan potensi pelanggaran HAM meskipun diperlukan karena keterbatasan kemampuan kepolisian dalam situasi tertentu seperti di Poso. Zulkifli menekankan diperlukan mekanisme pelibatan dan koordinasi yang baik untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Sementara itu, Peneliti HAM dan sektor keamanan Setara Institute for Democracy and Peace Ikhsan Yosarie, SIP menegaskan bahwa fungsi penangkalan seperti yang tertera pada pasal 2 rancangan perpres pelibatan TNI dalam kontraterorisme tidaklah dikenal.

"Karena pasal 43 UU5/2018 menggunakan istilah pencegahan yang merupakan bagian dari tugas BNPT," ungkapnya. 

Dia katakan, Fungsi pencegahan dan pemulihan sebaiknya dikerjakan oleh badan-badan lain yang memang memiliki kompetensi, seperti BNPT, Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan, dan lembaga-lembaga lainnya.

Rancangan perpres ini, menurut Yosarie juga menghilangkan kontrol DPR atas pengerahan TNI dalam kontraterorisme karena menyebutkan pengerahan kekuatan TNI hanya didasari atas instruksi oleh Panglima TNI berdasarkan perintah presiden.

"Padahal UU34/2004 menegaskan bahwa pelaksanaan operasi militer selain perang harus berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara yang berupa keputusan presiden dengan persetujuan DPR," jelasnya.

Dia tambahkan, rancangan perpres ini juga tidak menyebutkan mengenai eskalasi ancaman sehingga menjadi tidak jelas kapan tepatnya perbantuan TNI diperlukan.

Yosarie juga menyoroti pasal 14 dari rancangan perpres yang menyebutkan sumber anggaran perbantuan TNI dapat berasal dari sumber-sumber di luar APBN yang jelas-jelas bertentangan dengan pasal 66 dan 67 UU34/2004 yang menegaskan bahwa pendanaan TNI hanya dapat berasal dari APBN. [Lia]





0/Comments = 0 Text / Comments not = 0 Text

Lebih baru Lebih lama
YofaMedia - Your Favourite Media
Ads2