PGRI: Perlunya Manajemen Strategis dalam Sosialisasi Zonasi

Yofamedia.com, Jakarta - Sistem zonasi agak banal nampaknya jika diterapkan. Term “Sekolah favorit” menjadi pemikiran utama yang masih diulas. Pasalnya, Jika awalnya kita melihat bahwa sekolah adalah bentuk pelayanan Negara secara holistik, maka sekarang kita dapat melihat sekolah sebagai ajang kompetisi hak istimewa. Upaya Negara untuk menepis pola pikir ini sudah cukup radikal, meskipun banyak hal yang luput tersiapkan.

Andaipun pemerintah mengaku sudah melakukan persiapan, sudahkah Anda tahu proses tahapannya? Efektivitasnya dalam mendukung pemerataan, persiapannya terhadap peningkatan kapasitas guru, pun dalam pembiayaan, sepertinya menjadi kepentingan yang harus diantisipasi oleh Negara.

Zonasi adalah sistem pendaftaran peserta didik baru atau PPDB yang mewajibkan menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat dari Sekolah paling sedikit sebesar 90% (sembilan puluh persen) dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima. Dengan syarat-syarat pendukung seperti yang terlampir di Permendikbud no 18 tahun 2018.

Banyak persepsi yang lahir dimasyarakat tentang sistem zonasi. Mulai dari menilai sistem zonasi yang membuat anak terhambat dalam perkembangan sampai hujatan leluconan “reunian sama tetangga”.

Sejauh yang dirasakan masyarakat, tampak jelas bahwa kebijakan zonasi kurang persiapan dan kurang sosialisasi, tanpa memerhatikan pemegang kepentingan.

Menurut Sekjen PGRI, M Qudrat Nugraha, dalam manajemen strategis, para pemegang kepentingan ini tidak sebatas instansi. Pendidikan memiliki banyak pemegang kepentingan: ialah orang tua dan guru.

Tugas Negara yang seharusnya mengambil langkah sosialisasi yang baik dan menyeluruh agar terciptalah kebijakan yang baik dan melibat-sertakan para pemegang kepentingan tersebut, tidak melakukan persiapan utuh terkait sosialisasinya.

Sebab kebijakan zonasi, para warganet kerap berbeda pendapat, sebagian menilai kebijakan ini penting dengan catatan atas keseriusan pemerintah membenahi pendidikan, ada pula yang mendukung penuh atas “niat baik” yang dinyatakan Pak Muhadjir selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, pun tak sedikit pula yang menilai kebijakan ini terlalu dini diterapkan dikarenakan tak sesuai dengan kondisi yang terpapar nyata di lapangan.

Dalam kenyataannya, kebijakan ini membingungkan banyak pemegang kepentingan, karenanya diperlukan transparansi, terlebih dalam hal pelibatan pemegang kepentingan. Pemerintah dan elite politik seharusnya bisa melihat bagaimana ungkapan-ungkapan kegeraman warganet yang beragam.

Penghakiman sosial kini (utamanya dalam dunia maya) dapat menjelma menjadi persepsi umum. Lagi-lagi, menurut Pak Qudrat, kegaduhan ini bukanlah pertanda positif yang dapat begitu saja dijawab dalam wawancara. Pengawasan masyarakat dapat berimbas hal yang tidak baik bagi pemerintah. Secara penghakiman sosial, kebijakan ini senantiasa diawasi oleh semua mata. [Red]





0/Comments = 0 Text / Comments not = 0 Text

Lebih baru Lebih lama
YofaMedia - Your Favourite Media
Ads2