Keseruan Gelaran Film Musik Makan 2019

Yofamedia.com, Jakarta - Film Musik Makan 2019 telah digelar di GoetheHaus Jakarta, pada Sabtu 9 Maret 2019 kemarin. Seperti tahun-tahun sebelumnya, acara yang digagas Kolektif Film ini kembali menampilkan film panjang, film pendek, fiksi, dan dokumenter.

Beberapa film pendek berprestasi yang tayang pada Film Musik Makan 2019 ini di antaranya Kado dari sutradara Aditya Ahmad (Pemenang Venice International Film Festival dan Singapore International Film Festival 2018), Ballad of Blood and Two White Buckets dari Yosep Anggi Noen (Official Selection Toronto International Film Festival 2018), juga Kembalilah dengan Tenang karya Reza Fahriansyah yang baru-baru ini terpilih sebagai Official Selection Clermont-Ferrand Film Festival 2019. Untuk pertama kalinya, Woo Woo karya Ismail Basbeth serta Dan Kembali Bermimpi karya Jason Iskandar juga diputar. Jason Iskandar merupakan sutradara muda yang juga pernah menayangkan salah satu filmnya di Film Musik Makan 2018.

“Beberapa tahun terakhir saat saya membuat film yang dianggap penting dan berskala besar, namun justru hati saya merasa sepi. Ternyata saya sadar bahwa membuat film yang saya suka itu yang seperti ini (Woo Woo) bukan yang seperti itu. Karena saat kalian membuat sesuatu yang besar, pasti akan kehilangan sesuatu yang besar pula. Jadi film seperti Woo Woo ini adalah wujud ziarah kepada diri saya sendiri,” ungkap Ismail Basbeth.

Sementara itu, untuk kategori film panjang, turut ditayangkan pula film Daysleepers (Kisah Dua Jendela) karya Paul Agusta. Film tersebut menampilkan nama-nama seperti Dinda Kanyadewi, Khiva Iskak, Joko Anwar, Djenar Maesa Ayu, Agnes Naomi, hingga Tadelesh Ilham. 

Mengambil sudut pandang Kota Jakarta, film Daysleepers (Kisah Dua Jendela) juga menjadi Official Selection dalam gelaran Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) tahun lalu.

"Jakarta itu terlihat padat, namun tidak semua terkoneksi satu dengan yang lain. Pastilah setiap orang berandai-andai tentang koneksi. Mendambakan untuk dapat saling berkoneksi satu sama lain," ungkap Paul tentang filmnya.

Menceritakan tentang kesendirian dan rasa sepi, Film Daysleepers (Kisah Dua Jendela) hanya memerlukan sedikit naskah dalam proses pembuatannya. Paul mengungkapkan bahwa sebagian besar dialog antar pemain merupakan hasil improvisasi, bahkan saat dialog antara Joko Anwar dan Djenar Maesa Ayu lebih terlihat seperti sesi curhat.

Hasil gambar untuk kisah dua jendela
Kisah Dua Jendela
"Setiap mengulang proses syuting, kata-kata yang diucapkan selalu berbeda," tambah Khiva Iskak, pemeran Leon. Meskipun begitu proses syuting sangatlah dinikmati oleh tim dan pemain Film Daysleepers (Kisah Dua Jendela) sebagai proses belajar satu sama lain.

Selain itu, Film Musik Makan 2019 juga menampilkan sebuah omnibus bertajuk Asian Three Folds Mirror: Journey yang untuk pertama kalinya ditayangkan di Jakarta. Asian Three Folds Mirror: Journey merupakan hasil kolaborasi antara Japan Foundation dan Tokyo International Film Festival. Omnibus ini disutradarai oleh Degena Yun (Tiongkok), Daishi Matsunaga (Jepang), dan Edwin (Indonesia). Irisan tema pada ketiga film adalah kisah perjalanan. Salah satu aktor kenamaan Indonesia, Nicholas Saputra, akan muncul di ketiga episode omnibus tersebut. Salah satu bagian omnibus yang disutradarai Edwin, Variable No. 3, diperankan oleh Oka Antara, Agni Prastitha, juga Nicholas Saputra.

Edwin, salah satu sutradara dalam proyek omnibus tersebut mengatakan bahwa dalam Variable No.3, ia ingin meletakkan intimasi sebagai dasar dalam hubungan antar manusia, dengan tema besarnya adalah tentang perjalanan. Selain itu ia mengaku jika proyek ini ialah obat rindunya dalam menggarap film pendek.

Variable No. 3
“Memang beberapa waktu ini kami tidak menggarap film pendek. Saat di sini, kami ingin mengeksplorasi keintiman dalam sinema,” ujar pria kelahiran Surabaya tersebut.

Edwin bercerita bahwa proses pembuatan film ini pertama kali dilakukan melalui rapat via Skype. Ia membahas tema perjalanan dengan dua sutradara lainnya melalui Skype. Setelah itu, mereka lanjut untuk menulis skripnya masing-masing.

“Saya rasa bekerja dengan kru yang berbeda, masalahnya ada di komunikasi. Ini menjadi lebih kompleks karena keterbatasan bahasa. Saya pribadi ada semacam pengalaman syuting yang cukup repot di Tokyo ketika ada adegan intim dan privasi. Di Jepang, perizinan syuting sangat susah dan harus detail,” kenang Edwin.

Paduan Suara Dialita
Pada pemutaran sesi terakhir, turut diputar film dokumenter dari sutradara Shalahuddin Siregar berjudul Rising From Silence yang mengangkat kisah paduan suara Dialita, masa lalu dari para penyintas eks-tahanan politik dan karya-karya musiknya kini. Film ini diganjar Best Short Documentary Freedom Film Festival 2018 dan Piala Citra untuk kategori Film Dokumenter Pendek Terbaik Festival Film Indonesia 2018.

Sebagai sajian musik yang melengkapi pemutaran film, hadir langsung Paduan Suara Dialita (Di Atas Lima Puluh Tahun), yang merupakan kumpulan anggota keluarga penyintas maupun korban langsung Tragedi 1965. 

Paduan suara perempuan ini menggali kembali lagu-lagu yang sempat dibungkam. Lagu-lagu tersebut sebagian dikarang di balik jeruji besi yang menceritakan rasa rindu, harapan dan kasih sambil mengingatkan diri akan nilai-nilai kebangsaan. Ada juga lagu yang diciptakan sebelum tragedi berlangsung, yang menceritakan peran Indonesia sebagai salah satu penggerak bangsa-bangsa Asia Afrika yang baru memerdekakan diri berbasis nilai-nilai solidaritas ataupun sesudah 1998 yang mengingatkan kita untuk terus menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. [Bud]


0/Comments = 0 Text / Comments not = 0 Text

Lebih baru Lebih lama
YofaMedia - Your Favourite Media
Ads2