Film Women from Rote Island, Angkat Isu tentang Perempuan dan Kekerasan Seksual

Yofamedia.com, Jakarta - Prestasi Women From Rote Island menjadi kejutan tersendiri dalam Festival Film Indonesia (FFI) 2023 lalu. Debut penyutradaraan dari Jeremias Nyangoen ini memenangkan keempat kategori dari empat nominasi yang diraihnya. Tiga di antaranya bagi saya merupakan kategori krusial pada ajang penghargaan film manapun. Pencapaian tersebut membuat film ini semakin dinanti untuk tayang secara reguler di bioskop. Untungnya, saya sempat menontonnya terlebih dulu di akhir tahun ini, pada momen Jakarta Film Week di akhir Oktober tahun lalu.

Film dengan judul alternatif “Perempuan Berkelamin Darah” ini bercerita tentang perempuan dan mengangkat isu tentang kekerasan seksual. Sebuah langkah yang tahun sebelumnya diambil oleh film Like & Share. Namun, naskahnya yang juga ditulis oleh Jeremias tidak sekedar mengemas isu seksi tersebut di latar tempat berbeda. Adegan pembukanya saja menunjukkan bagaimana adat setempat begitu berpengaruh terhadap kehidupan tokoh utama kita di sana.

Kita akan bertemu dengan Orpa (Merlinda Dessy Adoe), seorang ibu yang suaminya baru meninggal. Orpa bersikeras memenuhi wasiat sang suami yang ingin sang anak, Martha(Irma Novita Rihi) melihat jenazahnya untuk terakhir kali. Tidak ada upacara pemakaman sebelum Martha kembali, tegasnya. Martha yang diketahui menjadi TKI ilegal di Malaysia akhirnya pulang tetapi membuat jenazah sang ayah terlambat dimakamkan. Berikutnya kita akan melihat keseharian Martha di pulau Rote, yang tidak aman dari nafsu liar lelaki setempat.

Kebiasaan para pemeran utamanya ditunjukkan bergantian dengan berbagai pemandangan dari pulau Rote. Keberagaman penduduk dan adanya akses teknologi yang terbatas ditunjukkan tanpa mendikte. Namun, paruh awal dari filmnya bagi saya cenderung membosankan. Bahkan saya sempat melewatkan detil filmnya yang menunjukkan hubungan antara Martha dan Bertha (Keziallum Ratu Ke) yang masih duduk di bangku sekolah. Apakah mereka saudara kandung, ada hubungan darah, atau sahabat. Karena filmnya mulai menarik tatkala kita melihat kebersamaan Bertha dan Martha. Bahkan, keseriusan dari isu yang ingin diangkat baru muncul ketika Bertha membela Martha yang dilecehkan secara sengaja oleh laki-laki yang membantunya turun dari pohon. Perlakuan menjijikan lain yang dialami Martha beserta penggambaran suasana hatinya akan memenuhi film yang terbagi dalam beberapa bagian ini, yang masing-masing ditandai judul yang berasal dari dialog kunci pada beberapa scene terakhir bagian sebelumnya.

Keresahan dari penulisnya mulai bisa dirasakan kala kita melihat perlakuan warga lokal terhadap Martha yang jelas menjadi target pemerkosaan. Ketika permasalahan yang terjadi cenderung diselesaikan secara adat oleh kepala suku, akankah keadilan untuk perempuan terjamin? Pada film ini, Martha diletakkan di posisi yang serba salah. Ketika mencoba untuk membela diri dan mengancam balik pelaku, keluarganya malah dimintai ganti rugi berkat kerusakan materil yang dibuat Martha. Kaki Martha pun harus dirantai karena pergerakannya dianggap membahayakan penduduk sekitar. Kala menjadi tahanan di rumahnya sendiri, rasa depresi yang dialami Martha semakin jelas. Di sini lah credit untuk sang aktris, Irma Novita patut diberikan.

Konflik yang dihadirkan tidak berhenti ketika Martha dirantai di rumahnya sendiri. Bahkan, ancaman lain yang menimpa Martha dan Bertha muncul dan lebih berbahaya. Melalui tragedi yang dialami keduanya, sang penulis naskah menunjukkan sikapnya. Orpa yang kini menjadi kepala keluarga tidak selamanya dibuat pasrah dengan keadaan – dalam hal ini adalah kondisi psikis Martha. Kita mendapatkan perlawanan darinya yang menunjukkan sebuah sikap tegas dan tetap lembut, mudah ditafsirkan sebagai “Memaafkan bukan berarti merelakan proses hukum”. Sebuah resolusi yang menunjukkan simbol penyesalan mendalam turut dihadirkan pula. Penontonnya akan berasumsi simbol tersebut adalah bagian dari adat setempat, tetapi nyatanya tidak.

Sebuah sikap menarik ditunjukkan naskahnya dengan tidak memberi resolusi khusus terhadap sebuah kasus kekerasan yang terjadi. Saya dapat menangkap niat penulisnya untuk mencoba dekat dengan realita, bahwa setiap tragedi tidak selalu berakhir dengan keadilan. Walaupun keputusan tersebut akan membuat beberapa penontonnya kurang puas. Sebagai penonton, kita akan mengetahui jelas siapa pelaku yang tak terungkap oleh para protagonisnya tersebut. Namun, perihal apakah dirinya akan diadili tak lagi dibahas.

Sikap sang penulis pada sekuens terakhirnya hadir lebih tajam dalam wujud aksi yang masif dari para perempuan Rote. Aksi tersebut dapat dieksekusi lebih baik demi menunjukkan ketegasan aparat setempat dalam menyampaikan komitmennya, termasuk sikap respect yang ditunjukkan para aparat laki-laki. Meski rasa yang dihantarkan kurang maksimal, aksi tersebut sudah cukup tepat untuk menutup dan menjadi pembeda dari film ini. [Red]




0/Comments = 0 Text / Comments not = 0 Text

Lebih baru Lebih lama
YofaMedia - Your Favourite Media
Ads2