Yofamedia.com, Jakarta - Program JKN telah membuka akses terhadap diagnosis dan
terapi kanker, namun akses terhadap penatalaksanaan kanker yang
sesuai standar medis perlu perbaikan mendesak agar pasien kanker bisa mendapatkan
haknya atas pelayanan kesehatan berkualitas, dan dokter juga bisa memberikan
penatalaksanaan sesuai dengan standar medis.
Banyaknya hambatan pasien untuk mendapatkan akses pengobatan
yang diperlukan
mendorong Cancer Information & Support Center (CISC)
mengadakan kegiatan diskusi
interaktif dengan media hari ini (15/07/2019) di Jakarta,
dengan tema “Penatalaksanaan
Kanker di Era BPJS Kesehatan” untuk memberikan pemahaman
yang tepat mengenai
perkembangan standar penatalaksanaan kanker serta tantangan
dan peluang untuk dapat
mengadopsinya dalam program JKN. Kegiatan ini diharapkan
mendorong seluruh pemangku
kepentingan untuk bertindak bersama agar pasien kanker bisa
mendapatkan haknya atas
pelayanan kesehatan berkualitas, dan para dokter juga bisa
memberikan pengobatan yang
sesuai standar medis.
Beban Penyakit Kanker, Perlu Solusi Menyeluruh
Data dari Globocan 2018 menyatakan ada 348.809 orang
penderita kanker baru dalam satu
tahun di seluruh Indonesia (kanker payudara sekitar 58.000
kasus, kanker leher rahim
32.000, kanker paru 30.000, kanker usus besar 30.000),
dengan 207.000 kematian akibat
kanker. Apabila penyakit kanker tidak ditangani secara
menyeluruh dengan tepat, mulai
dari program pencegahan primer dan deteksi dini sampai
terapi yang berbasis bukti
(evidence-based), maka dikemudian hari akan membebani negara
secara ekonomi dan
sosial.
Dr. Ronald A. Hukom, MHSc, SpPD KHOM, FINASIM, ahli penyakit
dalam dan onkologi
medik yang juga Ketua Perhimpunan Hematologi Onkologi Medik
Penyakit Dalam
(PERHOMPEDIN) DKI Jakarta menyampaikan, “Pandangan puluhan
tahun yang lalu bahwa
kanker merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan
adalah salah. Di Amerika dan
Eropa, dalam 40 tahun terakhir, angka kesembuhan pada banyak
jenis kanker meningkat
tajam.” Lebih lanjut dijelaskannya bahwa di Inggris, kanker
payudara saat ini memiliki
tingkat kesintasan 10 tahun sekitar 80% sejak diagnosis
ditegakkan. Untuk kanker prostat,
yang merupakan kanker utama pada pria, sekitar 84%
penderitanya masih hidup sesudah
10 tahun dinyatakan sakit (dibanding hanya 25% pada tahun
1970-71).
Ada kelompok pasien leukemia kronik yang sejak diagnosis ditegakkan,
masih lebih dari 90% bertahan hidup dalam 10 tahun. Berbagai angka yang hampir sama sudah
terlihat di beberapa negara
Asia seperti Jepang dan Korea Selatan. Untuk kanker stadium
lanjut, hasil pengobatan juga
semakin baik. Misalnya, kanker payudara stadium 4
(metastatic breast cancer) yang 30 tahun lalu tidak sampai 20% pasien masih bertahan hidup
sesudah 5 tahun, saat ini pada kelompok tertentu (HER2 positif) bisa memiliki harapan hidup
50% lebih dari 5 tahun.
Dengan perkembangan tersebut, sangat penting bagi Pemerintah
untuk bersama-sama
seluruh pemangku kepentingan mengupayakan agar
penatalaksanaan kanker yang sesuai
dengan perkembangan standar medis bisa diakses pasien yang
memerlukan, terutama
melalui program JKN.
“Banyak warganegara kita yang masih berobat ke Cina,
Malaysia, dan Singapura karena
menganggap mutu pengobatan kanker di Indonesia belum
memuaskan. Ratusan triliun
rupiah dihabiskan, padahal angka ini sebetulnya bisa ditekan
bila Kementerian Kesehatan
bersama BPJS, bisa terus melakukan berbagai perbaikan dalam
sistem pelayanan
kesehatan, termasuk untuk kanker,” lanjut dr. Ronald Hukom.
Sebuah studi menyebutkan,
setiap tahun diperkirakan Indonesia mengalami kerugian US$48
milyar karena pasien yang
berobat keluar negeri. “Mungkin hanya diperlukan dana 3 - 5%
dari yang dibawa pasien ke
luar negeri dalam 5-10 tahun terakhir, untuk membangun
beberapa pusat kanker modern
dengan fasilitas diagnostik dan terapi lengkap di Sumatera,
Jawa, dan Kalimantan. Tidak
perlu semua pasien kanker dirujuk ke Jakarta,” kata dr.
Ronald Hukom.
Menutup penjelasannya, dr. Ronald Hukom menegaskan perlu
segera dibuat sistem audit
pemakaian obat kanker (bukan Audit Medik) untuk meningkatkan
kualitas pelayanan bagi
penderita kanker. Dalam 5 tahun pelaksanaan program JKN
(2014-2019), belum pernah
ada Audit secara khusus pada pemakaian obat kanker, yang
meneliti apakah rumah sakit
dan BPJS Kesehatan di semua daerah / propinsi sudah
mengikuti restriksi yang ditentukan
dalam Formularium Nasional. Secara khusus dr. Ronald Hukom
menyoroti kasus pencabutan
dua obat terapi target untuk kanker kolorektal dari
Formularium Nasional (Fornas),
sehingga pasien tidak bisa lagi mendapatkan obat yang
diperlukan tersebut. “Audit
pemakaian obat kanker secara berkala akan membantu
menyelamatkan miliaran rupiah
dana JKN, dan penderita kanker yang memang membutuhkan obat
‘mahal’ tertentu untuk
hasil terapi yang lebih baik, tidak dirugikan karena obat
yang diperlukan tidak dijamin oleh
BPJS,” pungkasnya.
Kemajuan Penatalaksanaan Harus Disertai Akses
Dalam acara yang sama, Dr. A. Hamid Rochanan, SpB-KBD, MKes,
Sekretaris
Jenderal Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Digestif
Indonesia (IKABDI)
memberikan pemaparan mengenai perkembangan penatalaksanaan
kanker, terutama
kanker kolorektal. Dikatakannya, “Kemajuan standar
penatalaksanaan kanker yang
meningkatkan hasil terapi hanya akan bermakna jika bisa
diakses oleh pasien yang
membutuhkannya. Kanker adalah penyakit katastropik, yang
bukan saja membuat pasien
terbebani karena penyakitnya, tetapi juga karena pembiayaan
terapinya. Oleh karena itu,
negara harus hadir untuk menjembatani akses terhadap standar
terapi kanker, terutama di
era JKN.”
Dr. A. Hamid Rochanan, SpB-KBD, MKes secara khusus
menjelaskan tentang terapi target
untuk kanker kolorektal yang tengah menjadi isu karena
dicabut dari Formularium Nasional
(Fornas) dan dihentikan penjaminannya oleh Kementerian
Kesehatan sesuai Keputusan
Menteri Kesehatan No. HK.01.07/Menkes/707/2018.
Dijelaskannya, “Terapi target bekerja
dengan menargetkan gen atau protein tertentu untuk membantu
menghentikan kanker
tumbuh dan menyebar. Gen dan protein tersebut ditemukan di sel
kanker atau sel yang
terkait dengan pertumbuhan kanker. Dokter menggunakan terapi
target dengan kemoterapi
dan perawatan lainnya pada kanker kolorektal metastasis
(stadium IV) secara selektif
sesuai indikasi medis. Di Indonesia, terapi target telah lama
tersedia, dan beberapa
diantaranya dijamin oleh ASKES dan selanjutnya oleh BPJS
Kesehatan.”
Berdasarkan Fornas baru, dua obat kanker terapi target yaitu
cetuksimab dan bevacizumab
dihapus untuk kanker kolorektal. Cetuksimab masih masuk
dalam Fornas yang diindikasikan
untuk kanker lain diluar kanker kolorektal, sedangkan
bevacizumab yang pada Fornas
sebelumnya diindikasikan untuk kanker kolorektal sama sekali
dihilangkan dari Fornas baru.
Lanjut dr. Hamid, “Tidak menjamin kedua obat tersebut
berarti mendorong dokter untuk
hanya memberikan kemoterapi saja, sehingga pasien kanker
kolorektal metastasis yang
membutuhkan terapi target tidak mendapatkan hak pelayanan
kesehatan yang aman,
bermutu dan terjangkau sesuai indikasi medis.”
Secara profesi, IKABDI mengajukan audiensi kepada Kemenkes
untuk memberi masukan
berkaitan dengan penatalaksanaan kanker kolorektal
metastasis, dan telah dilaksanakan
bersama tim HTA, Fornas, dan Kemenkes pada 19 Oktober 2018
dan 25 Februari 2019.
Pada Rapat Dengar Pendapat dan Rapat Dengar Pendapat Umum
(RDP(U)) di Komisi IX DPR
RI pada 11 Maret 2019, IKABDI telah mengkritik laporan studi
HTA dan memberikan
pandangan profesi tentang penatalaksanaan kanker kolorektal
metastasis dan meminta
kepada Menteri Kesehatan untuk meninjau ulang keputusan
tersebut. Pada RDP(U) telah
disepakati agar Kepmenkes Nomor HK.01.07/MENKES/707/2018
tersebut ditunda dan
direvisi.
Selama proses revisi, pasien yang membutuhkan
terapi target tetap bisa mendapatkannya. Pada tanggal 14 dan 18 Maret 2019
dilaksanakan rapat di Kemenkes untuk menindaklanjuti hasil RDP(U). IKABDI bersama
Perhompedin, Kemenkes, HTA, Fornas, BPOM, IDI dan fihak terkait untuk membahas
persyaratan restriksi pemberian terapi target. IKABDI telah memberikan masukan ilmiah tentang
kriteria, indikasi medis, benefit, dan persyaratan-persyaratan pemberian terapi target pada
pasien kanker kolorektal metastasis sesuai indikasi medis.
Empat bulan telah berlalu sejak RDP(U), Surat Penundaan
Kepmenkes Nomor
HK.01.07/MENKES/707/2018-pun tak kunjung muncul, Rumah Sakit
tidak berani
menyetujui pemberian terapi target pada pasiennya, ratusan
pasien kolorektal metastasis
(stadium IV) tak jelas terapi kankernya.
Senada dengan kedua klinisi, Aryanthi Baramuli Putri, Ketua
Umum CISC pada waktu
yang sama juga menyampaikan harapannya, “Kanker adalah
penyakit katastropik. Biaya
pengobatannya tidak murah, rakyat pada umumnya tidak akan
mampu jika membayar
sendiri. Oleh sebab itu, justru peran negara harus hadir,
agar pasien kanker bisa tetap
mendapatkan pengobatan yang berkualitas, sebagaimana
diamanatkan oleh peraturan
perundangan. Aryanthi menambahkan, “Anggapan bahwa menambah
hidup beberapa bulan
tidaklah ‘bermakna’ sangatlah tidak manusiawi, dan
menghalangi hak hidup pasien. Dua atau tiga bulan sekalipun adalah waktu yang sangat berharga
dan itu adalah hak hidup,
sehingga kualitas hidup harus dijaga. Penatalaksanaan kanker
yang terus berkembang telah
memberi harapan perbaikan hasil pengobatan, oleh karena itu
harus disertai upaya
terencana oleh Pemerintah agar bisa diakses oleh pasien.”
“Kami selaku komunitas memperjuangkan aspirasi-aspirasi
pasien kanker berharap agar
Pemerintah mencari solusi terbaik terkait pembiayaan
pengobatan kanker yang berkualitas
dengan melibatkan semua pihak agar pelayanan untuk pasien
kanker bisa terus
ditingkatkan, dan bukan malah dikurangi. Pemerintah dengan
dibantu legislatif, akademisi,
industri, organisasi pasien dan yang lainnya seharusnya
mengupayakan pembiayaan kanker
yang menyeluruh, bukan melihat dari satu sisi pandang saja
(defisit keuangan),”tutur
Aryanthi mengakhiri penjelasannya.
Tentang Cancer Information and Support Center (CISC)
CISC merupakan komunitas kanker yang berpusat di Jakarta
sejak tahun 2003 dengan
cabang di 10 kota yaitu Manado, Batam, Semarang, Padang,
Yogyakarta, Palembang,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan,
Medan, yang mempunyai visi
menjadi lembaga unggulan dalam memberikan dukungan serta
layanan informasi pada
masyarakat kanker dan awam menuju “Indonesia Peduli Kanker”.
Misi CISC adalah memberikan dukungan moral, emosional dan
social bagi penderita
maupun keluarga, meningkatkan kesadaran dan pengetahuan
masyarakat tentang kanker
dan pentingnya deteksi dini, memfasilitasi hubungan harmonis
antar berbagai pihak yang
terlibat dalam penanganan kanker, menyediakan informasi yang
tepat dan terkini tentang
kanker, membentuk dan memperkuat jaringan internal dan
eksternal untuk mendukung
kegiatan lembaga. [Red]
Posting Komentar